Koalisi Perempuan Dukung Aturan Nadiem soal Kekerasan Seks Kampus

Jakarta, CNN Indonesia --

Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati mengatakan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi semestinya dicontoh oleh setiap institusi dan lembaga.

Mike mengatakan beleid untuk mencegah kekerasan seksual tersebut mestinya diadaptasi oleh banyak instansi, bukannya mendapat penolakan. Menurutnya, tindak kekerasan seksual sangat bisa terjadi di mana saja sehingga perlu aturan yang jelas untuk menciptakan ruang aman bagi setiap orang.

"Permendikbud ini saya yakin akan jadi contoh untuk instansi lainnya agar membuat aturan yang sama, karena saya yakin kekerasan seksual ini tidak hanya terjadi di kampus, tapi juga tempat kerja atau lingkungan publik," kata kata Mike saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (9/11).


Mike menyebut Permendikbud yang dikeluarkan Nadiem Makarim tersebut merupakan sebuah kemajuan dari upaya pencegahan kekerasan seksual di Indonesia. Menurutnya, langkah tersebut semestinya mendapat dukungan dari berbagai pihak.

"Aturan ini juga sangat baik karena mulainya dari kampus, lembaga pendidikan yang levelnya paling tinggi. Kita tahu bahwa lingkungan kampus dan Pendidikan Tinggi tidak lepas dari rupa-rupa persoalan kekerasan seksual yang sering terjadi juga," ujarnya.

Mike mengkritik pihak-pihak yang menolak Permendikbud 30/2021 tersebut. Menurutnya, beberapa pasal yang dipersoalkan oleh kelompok penolak ini justru jauh dari konteks pembuatan peraturan itu sendiri.

Ia menilai argumen yang disampaikan para pihak yang menolak merupakan kesimpulan yang loncat dari akar masalah. Contohnya, penolakan pada Pasal 5 auat (2) huruf Permendikbud tersebut yang membahas terkait konsensual atau persetujuan.

Bunyi Pasal 5 yang menjadi sorotan yakni, "menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban."

Menurut Mike, para penolak itu beranggapan ketika ada persetujuan dari kedua belah pihak, mereka bisa melakukan zina. Padahal, zina dan kekerasan seksual merupakan permasalahan yang berbeda. Ia menekankan kekerasan seksual terjadi ketika tak ada persetujuan dari kedua belah pihak dan melibatkan relasi kuasa.

"Ini yang menurut saya justru malah konklusinya lompat dari pasal yang sebenarnya diatur. Kalau kita bicara kekerasan seksual jelas tidak ada consent (persetujuan), kalau ada consent ya bukan kekerasan seksual namanya," kata Mike.

Mike menjelaskan frasa kekerasan seksual yang diatur oleh Permendikbud Nomor 30/2021 jelas menerangkan bahwa tidak ada persetujuan dari kedua belah pihak. Jika aturan ini ditolak dengan alasan melegalkan zina, menurutnya, harus dibuat aturan baru untuk mencegah hal tersebut.

"Mereka yang menolak ini mungkin tidak suka dengan peraturan ini, saya juga sebenarnya tidak bisa menangkap logika penolakan dengan menggunakan zina ya, karena zina itu sesuatu yang berbeda lagi ketika kita bicara kekerasan seksual," jelas Mike.

Sebelumnya Permendikbud Nomor 30/2021 itu menuai kontroversi karena disebut melegalkan perbuatan asusila dan seks bebas di lingkungan kampus. Beberapa pihak yang menolak di antaranya Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan sebuah kelompok masyarakat mengatasnamakan Majelis Ormas Islam (MOI).

Kemendikbudristek sendiri telah membantah bahwa Permendikbud Nomor 30/2021 sebagai bentuk legalisasi zina di lingkungan perguruan tinggi. Pelaksana tugas (Plt.) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Nizam menyebut bahwa aturan itu terbit karena berangkat dari keresahan mahasiswa terkait kasus kekerasan di kampus.

(mln/fra)

[Gambas:Video CNN]

Related Posts

0 Response to "Koalisi Perempuan Dukung Aturan Nadiem soal Kekerasan Seks Kampus"

Post a Comment