Wawancara Devi Pandjaitan Daripada Kritik Ayo Buat Sesuatu Untuk Negara
Suara.com - Bagi Devi Pandjaitan, Yayasan Del bukan hanya sekadar sebuah organisasi nirlaba. Tapi juga 'anak kelima" yang ia besarkan bersama sang suami, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Anak kami kan empat, Tapi Pak Luhut itu selalu bilang kalau anak kami lima, satu lagi itu Yayasan Del," ujar Devi Pandjaitan, saat ditemui di kediamannya, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Dua puluh tahun sudah Devi dan Luhut membesarkan Yayasan Del. Tatapan matanya tajam dan menyala, saat bicara soal masa depan Yayasan Del dan pendidikan di Indonesia.
"Kan Del itu sendiri asal katanya selangkah lebih maju." ujar Devi.
Baca Juga: Luhut Pandjaitan : Pada 2040, Indonesia Bisa Duduki 5 Besar Ekonomi Dunia
Selama kurang lebih empat puluh lima menit, perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah itu bicara banyak hal mulai dari soal pendidikan, budaya, hingga perjalanan rumah tangganya, bersama Luhut Binsar Pandjaitan.
Berikut potongan perbincangannya:
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Del, Devi Pandjaitan melakukan sesi wawancara khusus dengan tim redaksi Suara.com di Jakarta, Rabu (30/6/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Bagaimana sebenarnya Anda dibesarkan hingga punya konsern yang kuat ke pendidikan?
Iya, kalau masa kecil, saya sebetulnya tidak lahir di Sumatra. Saya lahir di Semarang, dan kemudian besar memang banyak di pulau Jawa. Tapi Ayah saya itu dulu pencinta budaya, dia selalu bilang bahwa kita tuh harus berpikiran Eropa karena pada zaman itu Eropalah yang maju ya. Tetapi harus tetap berakar kepada akar (budaya) kita. Karena itulah ia memanggil tukang ajar Manortor, kemudian kami harus berbahasa Batak begitu.
Menurut dia Pendidikan itu memang penting. Jadi oleh karena itulah terpikir bahwa memang pendidikan itu harus dibagilah gitu ya. Meratalah di Negeri kita ini, dan kadang - kadang sedih terasa bahwa yang daerah - daerah terpencil itu belum memiliki pendidikan yang baik.
Baca Juga: Tangani Covid-19 di Daerah, Ini Perintah Luhut Pandjaitan ke Gubernur
Kenapa kemudian memilih di Sumatera, di Toba sana?
Iya, dulu kita berfikir bahwa Sumatra itu terkenal sama kemiskinan. Terutama di Toba itu Memang benar benar miskin loh. Nah kemudian kita berpikir bahwa kita harus melakukan terobosanlah Dan dipilihlah satu bidang Pendidikan di daerah tersebut.
Nah kemudian kalau memang nanti saya cerita lebih banyak lagi, bagaimana sebenarnya keluarga keluarga di situ itu memang miskin ya saya bukan mempermasalahkan miskinnya itu, tapi memang tidak sejahtera sekali gitu ya.
Oleh karena itu kita berpikir, bahwa kita memang sebagai orang dari sana bukan maksudnya primordial, atau mau memikirkan hanya negeri sendiri tetapi itu dimulailah dari situ.
Bagaimana waktu itu mulanya ngobrol dengan Pak Luhut sampai akhirnya mendirikan IT Del?
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Del, Devi Pandjaitan (kiri) melakukan sesi wawancara khusus dengan tim redaksi Suara.com di Jakarta, Rabu (30/6/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Kalau saya memang dari dulu pengen punya sekolah tapi saya pengennya TK. Karena pemikiran saya kalau dari mulai TK begitu ya bahwa anak anak kecil dididik begitu benar nanti dia juga keluar output nya juga pasti benarlah gitu ya.
Tapi Pak Luhut bilang, âah jangan terlalu lama gituâ. Lalu dia bilang waktu itu kan IT, pada waktu itu low 2001. Pak Luhut itu sudah berpandangan jauh bahwa IT pada suatu Ketika akan merupakan icon lah di dalam dunia pendidikan maupun di dalam kehidupan kita. Lalu dia waktu itu langsung berpikir untuk membuat suatu politeknik.
Tantangannya apa pada saat itu?
Iya, tantangannya sih banyak ya. Tapi kalau untuk kebutuhan mereka sekolah, karena gini orang batak itu punya satu pemikiran untuk Pendidikan bahwa anaknya harus maju.
Sehingga ada satu lagu yang mengatakan bahwa saya tidak perlu bermobil,atau berjam, asal anak saya sekolah. Jadi kalau di dalam pemikiran mereka itu memang sekolah atau pendidikan itu merupakan sesuatu yang teramat penting bagi kehidupan.
Sebegitu pentingnya ya bu pendidikan bagi masyarakat Batak?
Iya, jadi kalau anda masuk ke dalam satu rumah orang Batak, di dalam tembok temboknya itu foto fotonya itu foto pada waktu wisuda, mau itu SD,SMP, Universitas
Jadi dari situ bisa menunjukkan, ya mungkin itu rata ya di dalam masyarakat Indonesia, tapi di Batak ini engga tau ada satu pemikiran bahwa pendidikan itu sangat pentinglah.
Sekarang, setelah 20 tahun bagaimana respon masyarakat di sana?
Sangat positif dan saya yang sangat senang itu ialah bahwa kalau mereka tamat itu pada bulan September wisuda, pada bulan maret April itu udah diincer itu sama perusahaan- perusahaan dari Jakarta. Mereka meminta mahasiswa-mahasiswa yang akan tamat itu untuk bekerja kepada mereka. Karena mereka tau kualitas daripada sekolah itu sendiri gitu.
Belakangan, Yayasan Del juga juga mulai fokus ke hal budaya,kenapa bu?
Lama-lama kita berpikir kalau budaya ini kalau tidak dijaga ia akan hilang. Seperti kadang - kadang saya juga berpikir, seperti saya bersaudara 4, dulu orang tua saya mengharuskan saya berbahasa batak loh pak, kalau tidak dia bilang âulangiâ katanya kalau saya jawab Bahasa Indonesia.
Nah, kenapa saya sekarang nggak memaksakan ke anak anak saya? Walaupun anak anak saya dan menantu saya, kalaupun saya berbahasa Batak mereka mengerti, tapi mungkin vocabnya yang nggak cukup untuk berbicara.
Tapi sekarang pada cucuk saya? Lah cucu saya itu nggak ada lagi yang bisa Bahasa batak, malah fasihnya Bahasa Inggris ya gitu kan, nah itu juga kadang kadang kita berpikir begitu. Sehingga sekarang banyak gereja-gereja itu membuka kursus Bahasa Batak, supaya menjaga. Tapi nggak laku.
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Del, Devi Pandjaitan melakukan sesi wawancara khusus dengan tim redaksi Suara.com di Jakarta, Rabu (30/6/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Jadi memang tidak mudah ya. Nah kalau budaya seperti salah satunya adalah Ulos itulah budaya orang Batak yang harus dijaga betul betul.
Sempat ada pemikiran bahwa Ulos itu dibuat oleh orang-orang dulu, memang orang orang dulu kan makenya dengan roh roh dulu sebelum dia mengenal agama kan, tapi sekarang lama lama si Ulos itu hilang.
Nah sekarang udah lebih mesin, nah kemudian barang barangnya itu juga udah kimia, padahal si barang barang itu capnya semua dibuang ke danau Toba.
Oleh karena itu di bawah Yayasan Del ada satu Toba tenun, yang juga berfikir mengajarkan mereka memakai warna alam begitu, karena semua daun daun, pohon pohon sebetulnya itulah yang akan menjadi warna alam.
Nah jadi si Yayasan Del itu sendiri holistik Lah jadi sekali mendidiknya bukan hanya dalam ilmu, tetapi juga memikirkan sosial, lingkungan, tetapi juga memikirkan budaya gitu.
Pengembangan seperti ini, bagaimana ngobrolnya dengan Pak Luhut di keseharian?
Pekerjaan kita masing-masing tahu sendiri banyak sekali. Jadi obrolan itu nggak pernah berhenti ya dari soal negara, sampai ke keseharian, sampai ke Yayasan Del. Mau enggak mau, walaupun sekarang sudah ada generasi berikut, anak-anak kami menantu kami yang melakukan itu.
Tetapi, namanya policy yang utama ya tetap pada pak Luhut, misalnya sekarang ini juga waktu itu baru berlalu pemilihan rektor nah itu juga kan harus ikut juga dipikirkan begitu ya.
Kemudian policy policy berikut apalagi sih yang akan dilakukan oleh Yayasan Del kedepan begitu. Nah itu sebetulnya tetap masih ada dalam rentang kendalinya yang membentuklah pak Luhut dan kami.
Pak Luhut di luar kelihatan tegas, tapi di rumah bagaimana sosoknya?
Dia ramah ya, baik mungkin, ya tegas sih tetap terlihat ya apalagi kepada persoalan yang paling penting, misalnya kepada Covid-19 ini, pada anak anak, semua ya harus waspada terhadap covid-19 gitu.
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Del, Devi Pandjaitan berpose usai melakukan sesi wawancara khusus dengan tim redaksi Suara.com di Jakarta, Rabu (30/6/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Tapi dia seorang ayah yang bertanggung jawablah, sama ayah yang baik. Kalau sabtu minggu kami kalau tidak covid ini keputusan kami bersama harus makan bersama sama anak-anak, kalau nggak begitu nggak ketemu kan pak?
Jadi dia bisa meninggalkan ketegasan di luar itu untuk tidak dibawa ke dalam rumah.
Waktu itu Pak Luhut pernah menulis surat untuk ibu waktu sedang karantina dari China, respon ibu bagaimana?
Iya gimana ya kami sudah 50 tahun loh menikah bulan November. Iya lam- lama sih kalau kita suami istri sudah berpuluh-puluh tahun lama lama seperti teman begitu saling menegur, saling ngeledek gitu ya.
Ada prinsip yang diturunkan Ibu dan Bapak kepada anak dan cucu?
Tapi nggak usah diturunkan juga mungkin juga melihat ya, sudah melihat seperti apa. Dan menantu saya juga yang laki-laki suaminya Ulis juga selalu bilang bahwa âdilihat aja contohnyaâ pada kedua orang tua begitu, untuk melakukan kehidupan di dalam baik rumah tangga maupun berkeluarga.
Bagaimana ibu melihat pendidikan di Indonesia ke depan?
iya memang kadang-kadang bagaimana ya saya mau bilang, memang harus berdirilah banyak - banyak sekolah ya pak ya. Suda dicoba udah dicoba sih sama pemerintah dengan sekolah menengah kejuruan SMK.
Saya juga memohon kepada pemerintah tuh kalau bikin sekolah ya tidak usah juga mengarah kepada satu agama tertentu, Nah mohon maaf ya pak ya jadi seperti sekolah saya di Sumatra itu saya itu dipilih oleh gereja kami untuk membuat saya menjadi ketua Badan Penyelenggara Pendidikan di Gereja.
Pak itu di sudut sudut di kampung kampung bapak tahu enggga gaji gurunya 250 ribu? Nah kemudian si guru itu dia mengajar sebentar, dia tulis di papan, dia pergi nyangkul pak, bener itu terjadi lalu dia balik lagi untuk, âmana, mana, kumpulinâ hanya begitu sekolah itu.
Lalu apa yang kita harapkan daripada pendidikan yang seperti itu ya. Tetapi memang guru juga harus dipertimbangkan kesejahteraannya karena dia juga harus, dia punya keluarga, dia harus makan, dia harus hidup .
Tapi kalau saya, saya nggak maulah menunjuk terlalu banyak pemerintah begitu, karena sesudah saya lihat pak Luhut itu bagaimana kerja di pemerintahan nggak mudah kok, nggak mudah bahwa untuk membuat satu kesejahteraan bagi negara yang begini besarnya nggak mudah.
Pendiri sekaligus pembina Yayasan Del, Devi Pandjaitan melakukan sesi wawancara khusus dengan tim redaksi Suara.com di Jakarta, Rabu (30/6/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]Jadi kalau orang terlalu mudah mengkritik begitu ya, saya tuh hanya dengar cerita, belum yang melakukan ya jadi saya juga nggak mau terlalu berharap bahwa pemerintah harus begini, pemerintah harus begini, banyak kok yang sudah dilakukan, walaupun belum maksimal, walaupun perlu lebih banyak lagi sebetulnya effort untuk melakukan pendidikan yang lebih baik, lebih murah di Indonesia.
Saya tidak terlalu menyudutkan pemerintah karena suami saya juga bekerja di pemerintah. Dan saya sudah tau bagaimana sulitnya ya mengatur pemerintah yang begini besar, pulau demi pulau ya pak ya dan tidak rata semua kehidupan, kesejahteraan.
Jadi saya sih mengimbau sama orang orang yang bisa, yang bisa memberikan, yang bisa berkontribusi untuk pendidikan, ayolah daripada ribut aja gitu, daripada kritik aja ayolah memberikan sesuatu buat negara kita, buat bangsa kita, buat anak anak didik kita.
Sumber: www.suara.com
0 Response to "Wawancara Devi Pandjaitan Daripada Kritik Ayo Buat Sesuatu Untuk Negara"
Post a Comment